Kamis, 30 Desember 2010

PEMBELAJARAN INOVATIF: QUANTUM LEARNING METHOD, BERBASIS GROUP INVESTIGATION, DAN BERORIENTASI NATURE OF SCIENCE (NOS)

I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya peningkatan mutu pendidikan seharusnya dilakukan secara komprehensif dan simultan, yaitu menyangkut seluruh komponen yang terkait dengan sistem pendidikan secara serentak. Tanpa pembenahan yang bersifat komprehensif dan simultan, maka upaya peningkatan mutu pendidikan hanya akan menghasilkan produk yang compang-camping, satu aspek selesai tetapi aspek yang lain tetap menjadi masalah. Salah satu isu penting adalah dalam sistem pendidikan kita, khususnya sistem persekolahan, atau lebih khusus lagi praktek pengajaran di kelas telah menunjukkan kinerja yang mampu untuk memproduksi “kendaraan pendidikan” yang kita cita-citakan. Mutu pendidikan kita tidak saja rendah, tetapi juga menampakkan gejala menukik dari tahun ke tahun (Jalil, 2003).
Pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang dilakukan guru selama ini hanya melahirkan hafalan dan bukan melatih olah pikir. Meskipun sudah mempelajari IPA, siswa tetap saja tidak bisa berasosiasi atau memiliki gambaran yang jelas yang dihasilkan oleh olah pikirnya. Sudah bukan rahasia umum lagi jika pelajaran IPA menjadi sesuatu yang menjemukan. Seringkali kritikan dilontarkan terhadap dunia pendidikan bahwa IPA sebagai salah satu ilmu dasar tidak dikaitkan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari. Sangat mungkin, anak yang mempelajari IPA hanya menjadikannya sebagai hafalan dan tidak tahu bagaimana harus melakukan olah pikir.
Sekolah dan kelas itu ibarat black box bagi sebuah pesawat terbang. Jika ada sebuah pesawat terbang yang jatuh, maka yang paling dicari adalah black box-nya, karena disitulah terekam informasi yang dapat dipakai untuk mengetahui mengapa pesawat itu jatuh berkeping-keping. Begitulah pula halnya dengan pendidikan. Jika mutu pendidikan jatuh terjerembab berkeping-keping, maka seharusnya kelaslah yang dijadikan sasaran kajian dan perbaikan, karena bagi pesawat pendidikan kelas merupakan black box-nya. Di kelaslah terekam hampir seluruh informasi yang berkaitan dengan inteaksi antara guru – siswa – kurikulum atau bahan pengajaran (Jalil, 2003). Ada baiknya pertanyaan yang muncul sekarang adalah ‘what happen behind the classroom door?’ atau ‘what’s going on during class hours behind classroom?.
Paradigma pembelajaran berbasis student center, telah diperkenalkan di Indonesia sejak kurikulum 1984 diberlakukan. Posisi siswa dalam kurikulum 1984 adalah subyek belajar. Pada pembelajaran di kelas siswa mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Inilah yang menjadi bagian penting proses belajar mengajar. Pembelajaran ini disebut konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Penggunan istilah CBSA pun sangat jelas menunjukkan pembelajaran berbasis student center. Ini semua berarti sudah tiga puluh enam tahun pembelajaran berbasis student center diperkenalkan di Indonesia. Beberapa kalangan menyatakan dampak sosialisasi pembelajaran aktif ini belum terlihat jelas aplikasinya di kelas (Herlanti 2008).
Materi pelajaran disampaikan oleh guru IPA secara langsung kepada siswa, dan siswa menerima pelajaran yang diberikan dengan mencatat penjelasan dari guru serta dari buku cetak. Setelah itu biasanya siswa dilatih mengerjakan soal-soal latihan. Selama proses pembelajaran, guru dominan peranannya sedangkan siswa sangat sedikit. Siswa jarang diajak melakukan pengamatan secara langsung dan melakukan diskusi sehingga siswa menjadi cenderung pasif dan malas dalam kegiatan pembelajaran. Mereka lebih terbiasa menerima informasi begitu saja tanpa mengamati dan memahami bagaimana proses untuk memperoleh informasi tersebut. Pendekatan pembelajaran yang konvensional seperti ini berakibat pada rendahnya aktivitas belajar siswa (sudrajat 2008).
Selain itu proses pembelajaran berlangsung dengan guru mendominasi kelas, Siswa di kelas dipandang sebagai objek pengajaran secara sama. Hampir 95% pertanyaan datangnya dari guru. Jenis pertanyaan umumnya berupa ingatan, tertutup, satu jawaban benar, dijawab dengan koor, jawaban ringkas saja, melulu low order thinking, latihan soal diberikan kurang sistematis, jumlah dan tipe soal sedikit, kurang menantang berpikir kritis, interaksi belajar lebih banyak satu arah, yakni dari guru ke siswa, sumber belajar yang ada hanyalah guru dan buku (itu pun jarang), hampir tidak ada alat bantu belajar selain talk dan chalk, Pembelajaran seringkali dilakukan mengikuti urutan buku teks halaman demi halaman termasuk soal-soalnya. Siswa datang, duduk mendengarkan guru bercerita, bertanya kalau ada, berlatih mengerjakan soal, begitu setiap hari, pengelolaan kelas yang klasikal, sesekali individual (Herlanti 2008).
Aktivitas belajar secara fisik akan semakin besar apabila siswa sendiri yang lebih banyak terlibat selama pembelajaran. Aktivitas belajar secara fisik misalnya melakukan pengamatan langsung suatu fenomena, mendiskusikan suatu permasalahan, mengkomunikasikan hasil pengamatan, dan lain sebagainya. Dengan melakukan pengamatan sendiri, siswa akan memiliki pengalaman belajar langsung atau nyata. Pengalaman langsung akan lebih efektif dalam membentuk daya ingat siswa dibandingkan bila siswa hanya diam saja, hanya memperhatikan dan mencatat apa yang disampaikan oleh gurunya. Daya ingat yang baik tentu akan berdampak pada tingginya hasil belajar yang dicapai.
Pada model pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru dituntut untuk lebih kreatif. Dalam hal ini bagaimana guru membuat scenario pembelajaran yang cocok dengan materi yang akan dibelajarkan. Guru akan lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan nara sumber yang tidak mendominasi suasana pembelajaran. Selain sebagai fasilitator dan nara sumber, ketika pembelajaran berlangsung guru juga harus bertindak sebagai evaluator. Peran ini dimaksudkan agar guru dapat mengevaluasi performance siswa ketika proses pembelajaran berlangsung. Aspek kemampaun apa yang dimunculkan siswa ketika mereka sedang mempelajari struktur organ tumbuhan misalnya. Atau kemampuan-kemampuan lain, mungkin kemampuan mengukur, mengklasifikasi atau mengkomunikasikan hasil pengamatannya (sudrajat 2008).




II PEMBAHASAN
2.1 Quantum learning
“Quantum Learning” berakar dari upaya Dr Georgi Lozanov. Beliau seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology” atau “suggestopedia” prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar didalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif (DePoter, 2009).
Quantum learning menggabungkan Sugestology, teknik pemercepatan belajar dan NLP dengan teori keyakinan, termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti: (1) Teori Otak kanan dan kiri; (2) Pilihan modalitas (visual, auditorial dan kinestetik); (3) Teori kecerdasan ganda; (4) Pendidikan holistic; (5) Belajar berdasarkan pengalaman; (6) Belajar dengan symbol; (7) Simulasi/permainan (DePoter, 2009).
2.1.1 Model Pembelajaran Quantum Learning
Model pembelajaran Kuantum ( quantum learning) identik dengan sebuah simponi dan pertunjukan musik. Maksudnya pembelajaran kuantum, memberdayakan seluruh potensi dan lingkungan belajar yang ada, sehingga proses belajar menjadi suatu yang menyenangkan dan bukan sebagai sesuatu yang memberatkan. Untuk dapat mengarah kepada yang dimaksud, ada beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan: (1) obtimalkan minat pada diri; (2) bertanggung jawab pada diri sehingga anda dapat memulai mengupayakan segalanya terlaksana; (3) hargailah segalah tugas yang telah selesai (Howard Garner, dalam DePoter, 2002)
2.1.2 Tujuan Quantum Learning
Tujuan pokok pembelajaran kuantum yaitu meningkatkan partisipasi siswa, melalui penggubahan keadaan, meningkatkan motivasi dan minat belajar, meningkatkan daya ingat dan meningkatkan rasa kebersamaan, meningkatkan daya dengar dan meningkatkan kehalusan perilaku, Berdasarkan prinsip dan asas landasan pembelajaran kuantum guru harus mampu mengorkestrasi kesuksesan belajar siswa. Dalam pembelajaran kuantum guru itu tidak semata-mata menterjemahkan kurikulum kedalam strategi, metode, teknik, dan langkah-langkah pembelajaran melainkan termasuk juga menterjemahkan kebutuhan nyata siswa. Untuk hal itu, dalam pembelajaran kuantum guru harus memiliki kemampuan untuk mengorkestrasi konteks dan kontens. Konteks berkaitan dengan lingkungan pembelajaran, sedangkan kontens berkaitan dengan isi pembelajaran. (Sa’ud, 2008).
2.2 Group Investigation
Group investigation (investigasi kelompok) merupakan salah satu model penbelajaran kooperatif yang berorientasi pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Siswa dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Tipe ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Group Investigation dapat melatih siswa untuk menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran (Trianto,2009)
Langkah pelaksanaan pembelajaran Group investigasi kelompok meliputi enam fase:
(1) memilih topik; yakni siswa memilih sub topik khusus didalam suatu daerah masalah yang biasanya ditetapkan guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan menjadi dua sampai enam anggota tiap kelompok menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi tugas. Komposisi kelompok hendaknya heterogen secara akademis maupun etnis;
(2) perencanakan kooperatif; yakni siswa dan guru merencanakan prosedure pembelajaran, tugas dan tujuan khusus yang konsisten dengan subtopik yang telah dipilih pada tahap pertama.
(3) implementasi; yakni siswa menerapkan rencana yang telah mereka kembangkan didalam tahap kedua. Kegiatan pembelajaran hendaknya melibatkan ragam aktivitas dan ketrampilan yang luas dan hendaknya mengarahkan siswa kepada jenis-jenis sumber belajar yang berbeda baik didalam atau diluar sekolah. Guru secara ketat mengikuti kemajuan tiap kelompok dan menawarkan bantuan bila diperlukan.
(4) analisis dan sitesis; yakni siswa menganalisis dan mengsintesis informasi yang diperoleh pada tahap ketiga dan merencanakan bagaimana informasih tersebut diringkas dan disajikan dengan cara yang menarik sebagai bahan untuk dipresentasikan kepada seluruh kelas.
(5) presentasi hasil final; yakni beberapa atu semua kelompok menyajikan hasil penyelidikannya dengan cara yang menarik kepada seluruh siswa dikelas dengan tujuan agar siswa yang lain saling terlibat satu sama lain dalam pekerjaan mereka dan memperoleh perspektif luas pada topik itu. Presentasi dikoordinasi ole guru.
(6) evaluasi; yakni Dalam hal kelompok-kelompok menangani aspek yang berbeda dari topik yang sama, siswa dan guru mengevaluasi tiap kontribusi kelompok terhadap kinerja kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi yang dilakukan dapat berupa penilaian individual atau kelompok.
2.3 Pembelajaran Berorientasi NOS
Nature Of Science (NOS) didefinisikan sebagai “hakekat pengetahuan”, yang merupakan konsep yang kompleks melibatkan filosofi, sosiologi, dan historis suatu pengetahuan. Lederman (1992) (dalam Wenning, 2006) menyebutkan NOS mengacu pada epistemologi dan sosiologi pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara untuk mengetahui, atau nilai dan keyakinan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah. Selanjutnya Lederman et al (2002) (dalam Wenning, 2006) menfenisikan NOS sebagai pemahaman terhadap karakteristik pengetahuan ilmiah yang berurusan dengan sifat empirisnya, sifat kreatif dan imajinatifnya, karakteristik teorinya, hakekat sosial budayanya, dan sifat tentatifnya.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa NOS mencakup tiga hal, (1) ontologi, yaitu pengetahuan sebagai bidang ilmu yang mengkaji artikulasi, sosiologi, dan historisnya, (2) epistemologi, yaitu pengetahuan sebagai cara untuk meraih pemahaman (understanding), wawasan (insight), dan kearifan (wisdom), (3) aksiologi, yaitu pengetahuan yang lebih menitik beratkan pada manfaat pengetahuan tersebut bagi masyarakat dan lingkungannya. Jadi, NOS merupakan jembatan bagi para siswa untuk mengungkap dan memahami realitas alam.
Pemahaman terhadap realitas alam sangat dibutuhkan bagi siswa dalam rangka memahami jati diri dan membangkitkan kesadaran untuk mencintai alam beserta isinya. Menurut Wenning (2006), pembelajaran berorientasi NOS memiliki enam langkah utama, yaitu: (1) background readings, (2) case study discussions, (3) inquiry lessons, (4) inquiry labs, (5) historical studies, (6) multiple assessments.
2.3.1 Background readings.
Pada langkah ini, siswa diarahkan membaca buku dan/atau artikel dan membuat laporan bab atau tema tertentu, sehingga mereka dapat menyusun latar belakang pembelajaran yang akan dilakukan. Buku dan/atau artikel yang dibaca oleh siswa diupayakan agar sesuai dengan karakteristik pengetahuan yang dipelajari. Aktivitas siswa yang perlu diakses adalah: ketepatan buku dan/atau artikel yang dijadikan sumber belajar, sistematika latar belakang pembelajaran, ketepatan rumusan masalah
pembelajaran, tujuan pembelajaran.
2.3.2 Case study discussions. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan, guru menyediakan ruang diskusi untuk melayani pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan oleh siswa, langkah pembelajaran yang akan dilakukan, atau memprediksi pemecahan terhadap kemungkinan hambatan belajar siswa. Aktivitas belajar siswa yang perlu diases adalah kulitas dan kuantitas pertanyaan yang diajukan, kualitas dan kuantitas penjelasan yang diungkapkan.
2.3.3 Inquiry lessons. Pada langkah ini, guru membimbing siswa dalam berpikir dan memfokuskan pertanyaan, prosedur pembelajaran yang akan dilakukan, menyajikan pijakan, pemodelan, dan penjelasan seperlunya tentang penelitian ilmiah, menjelaskan cara mengatasi kemungkinan hambatan-hambatan yang akan ditemukan dalam proses pembelajaran. Aktivitas belajar siswa yang diases adalah kesesuaian pertanyaan pembelajaran yang diajukan, ketepatan prosedur pembelajaran yang akan dilakukan, kecermatan memprediksi masalah hambatan dan upaya pemecahan yang diajukan.
2.3.4 Inquiry labs. Aktivitas ini membantu siswa belajar dan memahami proses dan keterampilan berpikir layaknya ilmuan dan memahami karakteristik penelitian ilmiah.
Langkah ini dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dikemas dalam lembaran kerja siswa (LKS). Indikator-indikator yang menjadi materi pertanyaan dalam LKS adalah: (a) mendorong keterlibatan mental, (b) penggunaan keterampilan berpikir tingkat tinggi, (c) mendorong pemusatan perhatian siswa untuk mengumpulkan dan menginterpretasi data, (d) menuntun siswa menemukan konsep, prinsip, dan hukum-hukum baru melalui kreasi dan kontrol sendiri melalui eksperimen, (e) mendorong siswa menerapkan prosedur ilmiah, (f) mendorong siswa berlatih membangun keterampilan proses ilmiah. Asesmen yang diterapkan dalam proses Inquiry labs adalah pre dan post labs yang memuat semua indikator yang telah disebutkan. Produk belajar akhir siswa dalam tahapan ini adalah mengkonstruksi laporan hasil Inquiry labs. Laporan disesuaikan dengan kaedah ilmiah, terkait dengan sistematika, teknik menulis, bahasa sajian, dan penulisan daftar pustaka. Isi laporan yang diases, adalah: kesesuain hasil lab dengan pertanyaan pembelajaran, keluasan dan kedalaman pem bahasan yang diformulasikan, kesesuaian simpulan yang diformulasikan, kesesuaian saran yang diajukan.
2.3.5 Historical studies. Pada tahap ini, siswa didorong untuk menyajikan deskripsi
tentang manfaat pembelajaran yang dilakukan, tidak hanya mengenai pemahamannya terhadap NOS dan kemampuan mengungkap dan menerapkan pemahaman terhadap realitas alam, tetapi juga perkembangan sikap dan persepsi siswa terhadap materi yang menjadi obyek Inquiry labs. Pengalaman belajar siswa yang diases pada tahapan ini, adalah kemampuan mengelaborasi berbagai aspek penelitian ilmiah, kemampuan mengungkap, memahami, dan menerapkan hakekat pengetahuan yang menjadi obyek Inquiry labs, kemampuan mendeskripsikan pengetahuan dalam perspektif historis dan budaya yang berbeda.
2.3.6 Multiple assessments. Materi assesmen hendaknya berorintasi pada pemahaman siswa terhadap NOS. Teknik-teknik asesmen yang dapat dilakukan adalah: asesmen kinerja, portofolio, dan tes (tes pilihan ganda diperluas, tes uraian terbuka model well defined, tes uraian terbuka model ill defined). Aktivitas siswa yang diases adalah kemampuan merencanakan, kemampuan melaksanakan, kemampuan presentasi, kemampuan melaporkan secara tertulis, kemampuan melaporkan secara lisan, pembuatan jurnal berkala, fokus pemahaman terhadap NOS, sikap dan persepsi siswa terhadap pelajaran dan model pembelajaran yang diterapkan. Untuk meminimalisasi subyektivitas penilaian, asesmen hendaknya dilengkapi dengan rubrik, sehingga mampu menilai siswa secara lebih akurat.

PENUTUP
Pembelajaran pada hakekatnya adalah untuk menyiapkan siswa mengungkap dan memahami realitas alam. Pemahaman terhadap realitas alam merupakan landasan bagi siswa untuk siap hidup di dunia nyata, berinteraksi sosial, dan mencintai alam dalam setiap perubahannya.
Model pembelajaran yang mampu memfasilitasi siswa menuju pencapaian pemahaman terhadap realitas alam adalah model pembelajaran inovatif. Pembelajaran
inovatif diterapkan sebagai hasil refleksi siswa atau guru untuk melakukan pembelajaran berbasis pada konteks, kebebasan, dan menyenangkan.
Pembelajaran yang penuh konteks, kebebasan, dan menyenangkan adalah pembelajaran yang mengembalikan siswa ke fitrahnya sebagai manusia untuk mengembangkan kemanusiaan dan kesadaran untuk mencintai alam. Alternatif pembelajaran yang mengakomodasi pencapaian pemahaman realitas alam, adalah: pembelajaran kuantum, pembelajaran berbasis group investigation, dan pembelajaran berorientasi Nature Of Science.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar