Rabu, 27 April 2011

Tiga Pilar Untuk Menghadapi Tantangan Dan Kendala Dunia Pendidikan.

Tiga Pilar Untuk Menghadapi Tantangan Dan Kendala Dunia Pendidikan.
Rencana Strategis (Renstra) pendidikan  sebagai suatu kebijakan. 
1. Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan;
   Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. 
   Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global, serta meningkatkan peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) hingga mencapai posisi sama dengan atau lebih baik dari peringkat IPM sebelum krisis. 
  Untuk itu, sampai dengan tahun 2009 dilakukan upayaupaya sistematis dalam pemerataan dan perluasan pendidikan, dengan mempertahankan APM-SD pada tingkat 95%, memperluas SMP/MTs hingga mencapaiAPK 98,0% serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5%.
   Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun memperhatikan pelayanan yang adil dan merata bagi penduduk yang menghadapi hambatan ekonomi dan sosial-budaya (yaitu penduduk miskin, memiliki hambatan geografis, daerah perbatasan, dan daerah terpencil), maupun hambatan atau kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual peserta didik. Untuk itu, diperlukan strategi yang lebih efektif antara lain dengan membantu dan mempermudah mereka yang belum bersekolah, putus sekolah, serta lulusan SD/MI/SDLB yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB yang masih besar jumlahnya, untuk memperoleh layanan pendidikan.
   Di samping itu, akan dilakukan strategi yang tepat untuk meningkatkan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, khususnya pada masyarakat yang menghadapi hambatan tersebut. PenuntasanWajar Dikdas 9 Tahun akan menambah jumlah lulusan SMP/MTs/SMPLB setiap tahunnya, sehingga juga akan mendorong perluasan pendidikan menengah.
   Dengan bertambahnya permintaan pendidikan menengah, Pemerintah juga melakukan perluasan pendidikan menengah terutama bagi mereka yang karena satu dan lain hal tidak dapat menikmati pendidikan SMA yang bersifat reguler melalui SMA Terbuka dan Paket C, sehingga pada gilirannya mendorong peningkatan APM-SMA. Oleh karena SMA cenderung semakin meluas jauh di atas SMK, maka Pemerintah lebih mempercepat pertumbuhan SMK diiringi dengan upaya mendorong peningkatan program pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah.

2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
   Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing di masa depan diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya peningkatan mutu dan relevansi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa.
   Mutu pendidikan juga dilihat dari meningkatnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan takwa serta berakhlak mulia, etika, wawasan kebangsaan, kepribadian tangguh, ekspresi estetika, dan kualitas jasmani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik yang lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di tingkat lokal, nasional maupun global.
   Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu pendidikan yang semakin meningkat yang mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP). SNP meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pemerintah mendorong dan membimbing satuan-satuan dan program (studi) pendidikan untuk mencapai standar yang diamanatkan oleh SNP. Standar-standar tersebut digunakan juga sebagai dasar untuk melakukan penilaian terhadap kinerja satuan dan program pendidikan, mulai dari PAUD, Dikdas, pendidikan menengah (Dikmen), PNF , sampai dengan pendidikan tinggi (Dikti).
   Peningkatan mutu pendidikan semakin diarahkan pada perluasan inovasi pembelajaran baik pada pendidikan formal maupun nonformal dalam rangka mewujudkan proses yang efisien, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai tingkat usia, kematangan, serta tingkat perkembangan peserta didik.
   Pengembangan proses pembelajaran pada PAUD serta kelas-kelas rendah sekolah dasar lebih memperhatikan prinsip perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak anak dengan lebih menekankan pada upaya pengembangan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual dengan prinsip bermain sambil belajar. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin memperhatikan pengembangan kecerdasan intelektual dalam rangka memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memperkokoh kecerdasan emosional, sosial, dan spritual peserta didik.

3. Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Citra Publik
   Tujuan jangka panjang Depdiknas adalah mendorong kebijakan sektor agar mampu memberikan arah reformasi pendidikan secara efektif, efisien dan akuntabel. Kebijakan ini diarahkan pada pembenahan perencanaan jangka menengah dengan menetapkan kebijakan strategis serta program-program yang didasarkan pada urutan prioritas. Di samping itu, disusun pula pola-pola pendanaan bagi keseluruhan sektor berdasarkan prioritas, baik dari sumber Pemerintah, orang tua maupun lain di setiap tingkat pemerintahan.
   Pengelolaan pendidikan nasional menggunakan pendekatan secara menyeluruh dari sektor pendidikan ( ) yang bercirikan (a) program kerja disusun secara kolaboratif dan sinergis untuk menguatkan implementasi kebijakan pada semua tingkatan, (b) reformasi institusi dilaksanakan secara berkelanjutan yang didukung program pengembangan kapasitas, dan (c) perbaikan program dilakukan secara berkelanjutan dan didasarkan pada evaluasi kinerja tahunan yang dilaksanakan secara sistematis dan memfungsikan peran-peran yang lebih luas.
   Pemerintah melaksanakan pengembangan kapasitas institusi pendidikan secara sistemik dan terencana dengan menggunakan pendekatan keseluruhan sektor tersebut di atas. Strategi pengembangan kapasitas lebih diarahkan pada proses manajemen perubahan secara atau perubahan yang didorong secara internal. Perubahan yang didorong secara internal akan lebih menjamin terjadinya perubahan secara berkelanjutan, menumbuhkan rasa kepemilikan, kepemimpinan, serta komitmen bersama.
   Kebijakan tata kelola dan akuntabilitas meliputi sistem pembiayaan berbasis kinerja baik di tingkat satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan manajemen berbasis sekolah (MBS), untuk membantu Pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumberdaya serta memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kinerja pendidikan ditingkatkan melalui peran komite sekolah/satuan pendidikan dan dewan pendidikan.
   Pemerintah bertekad mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta memberikan pelayanan yang lebih bermutu, efektif, dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat. Pemerintahan yang bersih dari KKN diwujudkan melalui internalisasi etos kerja serta disiplin kerja yang tinggi sebagai bentuk akuntabilitas aparatur negara serta perwujudan profesionalisme aparatur. Untuk itu, segenap aparatur yang ada di Departemen Pendidikan Nasional perlu meningkatkan kinerjanya untuk mewujudkan pelayanan yang bermutu, merata dan adil di dalam suatu tata kelola pemerintahan yang sehat. Aparatur juga perlu mengubah atas perilaku dan sikap seorang birokrat menjadi pelayan masyarakat yang
profesional.
   Kebijakan perwujudan tata kelola pemerintahan yang sehat dan akuntabel dilakukan secara intensif melalui sistem pengendalian internal (SPI), pengawasan masyarakat, serta pengawasan fungsional yang terintegrasi dan berkelanjutan. Pemerintah mengembangkan dan melaksanakan SPI pada masing-masing satuan kerja dalam mengelola kegiatan pelayanan pendidikan sehari-hari.
Pengawasan fungsional dilakukan oleh Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Keuangan RI, dan BPKP terhadap hasil pembangunan pendidikan, sedangkan pengawasan masyarakat dilakukan langsung oleh individu-individu atau anggota masyarakat yang mempunyai bukti-bukti penyalahgunaan wewenang
   sejalan dengan pembagian kewenangan antartingkat pemerintahan berdasarkan otonomi dan desentralisasi, pemerintah pusat mengkoordinasikan manajemen mutu pendidikan, sedangkan pemerintah daerah berperan dalam manajemen sarana/prasarana dan operasional layanan pendidikan.
   Untuk peningkatan efisiensi dan mutu layanan, diperlukan pengembangan kapasitas daerah serta penataan tata kelola pendidikan yang sehat dan akuntabel, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun tingkat kabupaten/kota. Dalam kaitan itu, pemerintah daerah lebih berperan dalam mendorong otonomi satuan pendidikan melalui pengembangan kapasitas dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang bermutu.

Sabtu, 23 April 2011

Pengajaran Sains Yang Efektif dalam Program Percepatan Pembelajaran


Effective Science Teaching in Accelerated Learning Program
Pengembangan Profesionalitas Guru dengan Prinsip “Tidak Ada Siswa yang Tertinggal”
 
disusun oleh: 
LIDIA H. SAMBETA 
PROGRAM PASCASARJANA SAINS

UNIVERSITAS TADULAKO

BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
            Selama lebih dari 40 tahun, para pemerhati pendidikan telah berargumentasi mengenai mana yang lebih baik untuk mengajak siswa terlibat di dalam sains, ataukah membaca tentang sains saja. Namun, hanya ada beberapa guru saja yang dibekali untuk mengajar sains dengan cara sesungguhnya yang sesuai dengan perkembangan zaman dibandingkan dengan guru yang mengajar fakta-fakta sempit yang harus dihafalkan untuk ujian.
            Bagi guru, eksperimen sains adalah barang mewah dan sulit terjangkau. Bahkan faktanya, banyak guru yang beranggapan eksperimen sains hanya sebagai pelengkap pembelajaran, atau sebagai ‘hadiah’ bagi kelas yang telah menyelesaikan satu cakupan materi tertentu. Guru seringkali beralasan untuk tidak melakukan eksperimen sains karena kekurangan waktu, tidak adanya persiapan, manajemen kelas yang tidak mendukung.  Bahkan fakta menunjukkan banyak guru di distrik pedesaan, mengeluh mengenai modul kurikulum yang mereka terima tidak sesuai dengan kemampuan mereka dan tidak sejalan dengan apa yang selama ini mereka mampu ajarkan[1]. Sangatlah jelas bahwa guru membutuhkan dukungan dalam jumlah yang besar untuk mengajarkan sains secara efektif, termasuk menggunakan metode penyelidikan (eksperimen), kelompok kerja, dan wacana kelas.
            Effective Science Teaching menurut NSES[2] telah dipraktekkan menjadi dampak yang positif dan proses pembelajaran siswa terhadap sains. Bahkan, guru-guru harus memanfaatkan strategi mengajar untuk memastikan pengertian dan penyerapan yang konseptual atas sains. Seperti yang dikatakan “seorang guru tidak dapat mengajar, menjadi model, ataupun mendukung apa yang tidak diketahui, tidak diterima atau tidak dialami oleh guru tersebut. Hal-hal  inilah yang menjadi  kendala  utama yang dihadapi oleh guru.

LESSON STUDY SEBAGAI MODEL UNTUK MEMBANGUN PENGETAHUAN PEDAGOGIK DAN MEMAJUKAN PENGETAHUAN

Pada hari tertentu ribuan guru memasuki kelas yang sama untuk mengajar hal yang sama, setidaknya mata pelajaran yang sama. Meskipun tujuan pedagogis serupa,pendekatan dan pengalaman, guru biasanya bekerja sendirian saat merencanakan kegiatan instruksional dantugas. Upaya pembatasan /isolasi seperti itu untuk meningkatkan pengajaran perguruan tinggi pada skala yang lebih luas, baik di dalam dan seluruh disiplin ilmu. Meskipun guru secara individu mungkin merefleksikan dan memperbaiki praktek mereka, ada beberapa kesempatan untuk berkomunikasi dengan rekan tentang apa yang mereka temukan tentang mengajar dan belajar. Ketika mereka berbagi ide tentang mengajar, hal ini seperti  mengambil
pengetahuan mereka yang berkembang dari pengalaman mereka dalam kelas. Meskipun pengetahuan praktisi segera bermanfaat bagi guru, hal itu cenderung dikaitkan dengan
konkret dan konteks tertentu (Hiebert, Gallimore, &Stigler, 2002). Hal ini tidak selalu dalam bentuk yang dapat diakses dan digunakan oleh orang lain. Untuk menjadi
pengetahuan profesional, pengetahuan praktisi harus juga dibuat publik, shareable, dan dapat diverifikasi (Hiebertet al., 2002). Bagaimana dosen dapat meningkatkan praktek mengajar di bidang mereka dan, di dalam proses,berkontribusi pada dasar pembentukan pengetahuan profesional?

Salah satu jawabannya adalah Lesson Study, seperti disarankan  Hiebert et al. (2002). Lesson Study adalah perbaikan  pengajaran proses pembangunan pengetahuan yang berasal dari  pendidikan dasar di Jepang. Dalam  Lesson Study di jepang guru bekerja dalam tim kecil untuk merencanakan, mengajar, mengamati, menganalisis, dan memperbaiki pembelajaran di kelas, yang disebut penelitian pembelajaran. Hampir semua guru Jepang berpartisipasi dalam sebuah
tim studi pembelajaran sekolah selama setahun. Selain itu,mereka  mengamati penelitian pelajaran secara teratur dalam  sekolah mereka sendiri dan di sekolah-sekolah Lesson Study  terbuka. penelitian pelajaran  dipublikasikan dan disebarluaskan di seluruh negeri. Intinya Lesson Study Jepang adalah berbasis luas, sistem yang dipimpin guru untuk perbaikan mengajar dan belajar.

Pada artikel ini kami mengusulkan suatu model Lesson Studyuntuk kelas perguruan tinggi, dan menggali bagaimana guru dapat meningkatkan praktek dan praktekmengajar di bidang mereka melalui Lesson Study. Kami belajardari pengalaman kami dengan College Lesson Study Proyek (CLSP), yang dimulai pada musim gugur 2003 dengan empattim Lesson Study Biologi, Ekonomi, Bahasa Inggris, danPsikologi. Pada musim semi 2006, partisipasi meningkat menjadi 40 tim yang melibatkan lebih dari 150 instruktursekitar 25 disiplin di 10 kampus di University of Wisconsin System. Di UniversitasWisconsin-La Crosse hampir 24% dari instruktur fulltime telah berpartisipasi dalam  Lesson Study  sejak musim gugur 2003. Sebagai
praktisi  Lesson Study  dan koordinator dariCollege Lesson Study Project, kami berada dalam posisi yang unikuntuk mendiskusikan peluang sertatantangan melakukan  Lesson Study  di tingkat perguruan tinggi danmemberikan komentar tentang bagaimana  Lesson Study  memungkinkanpenciptaan, pertukaran, dan penggunaan pengetahuan profesionaldalam mengajar.

Kamis, 21 April 2011

Tiga Isu Pendidikan Kritis di Indonesia

Oleh Amich Alhumami
http://tirtaamartya.wordpress.com/2007/06/07/tiga-isu-pendidikan-kritis/



SEPANJANG masa kampanye pemilu presiden, pendidikan menjadi salah satu tema paling digemari para calon presiden dalam orasi politik. Sayang, mereka tidak menyentuh problem mendasar pendidikan, bahkan pemahaman mereka atas isu pendidikan terkesan kurang mendalam. Mereka terjebak jargon-jargon populis dan retorika politik tanpa substansi.
Padahal, seyogianya mereka mendiskusikan isu-isu mutakhir yang lebih fundamental. Banyak isu kritis yang patut menjadi tema kajian. Dalam artikel ini hanya disajikan tiga isu sentral: i) peningkatan mutu, ii) pemerataan akses, dan iii) efisiensi anggaran.