Minggu, 08 Mei 2011

PENGEMBANGAN SAINS DISEKOLAH

PENGEMBANGAN SAINS DI SEKOLAH
Lidia Sambeta
PENGERTIAN
Tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan tujuan pendidikan nasional adalah : “Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mengacu pada standar isi dan standar kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional.
Belajar Dan Pembelajaran
Defenisi belajar diartikan sebagai proses perubahan perilaku tetap dari belum tau menjadi tau, dari tidak paham menjadi paham, dari kurang terampil menjadi lebih terampil, dan dari kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru, serta bermanfaat bagi lingkungan maupun individu itu sendiri. Belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstruk) pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dalam pandangan konstruktivisme “ Belajar” bukanlah semata-mata mentransfer pengetahuan yang ada diluar dirinya, tetapi belajar lebih pada bagaimana otak memproses dan menginterpretasikan pengalaman yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dalam format yang baru. Proses pembangunan ini bisa melalui asimilasi atau akomodasi.
Pembelajaran ialah: merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Pembelajaran secara simpel dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran hakekatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Dari makna ini jelas terlihat bahwa pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta didik, dimana antara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pembelajaran yang mendidik
Pada prinsipnya, dalam pembelajaran yang mendidik hendaknya berlangsung sebagai proses atau usaha yang dilakukan peserta didik untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu beriteraksi dengan lingkungannya. Perubahan tingkah laku yang terjadi dalam diri individu banyak ragamnya baik sifatnya maupun jenisnya. Karena itu tidak semua perubahan dalam diri individu merupakan perubahan dalam arti belajar. Hasil belajar peserta didik dalam proses pembelajaran yang mendidik berupa perubahan tingkah laku yang disadari, kontinu, fungsional, positif, tetap, bertujuan, dan komprehensif.
Pembelajaran yang mendidik bukanlah sekedar proses transfer ilmu belaka tetapi menjadi proses pendampingan anak didik secara utuh dengan menyeimbangkan aspek kognitif (Head), afektif, (Heart), dan psikomotorik (Hand).
Pendidikan kita sangat dominan dengan satu aspek saja, yakni mengembangkan kognitif belaka. Anak didik dicekoki dengan begitu banyak mata pelajaran yang begitu banyak pula materi yang harus dipahami. Pendidikan kita semakin parah tatkala anak didik harus menentukan nasib mereka di sekolah lewat Ujian Akhir Nasional yang juga sangat condong pada aspek kognitif.
Pendidikan kita hanya bertujuan membentuk anak-anak menjadi orang pintar dengan nilai (skor) tinggi dan khususnya lulus ujian sesuai batas minimal kelulusan. Aspek nurani (heart) dan kepedulian (hand) mulai tergadaikan dengan kebijakan politis yang ada. Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh John Keating akan menjadi sebuah musuh besar bagi pendidikan Indonesia.
Pendidikan berbasis kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara murid belajar di kelas.
Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkan dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja.
Dalam kurikulum 2004 ini, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meski begitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya.
Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah "pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur". Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat global. Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi.
Pembelajaran transfomatif
Transformatif Belajar "adalah istilah yang berasal dari Transformatif Teori Belajar (Mezirow, 1990, 1991, 2000), yang menggambarkan proses pembelajaran"menjadi kritis menyadari asumsi sendiri diam-diam dan harapan dan orang lain dan menilai relevansi mereka untuk membuat interpretasi "(Mezirow, 2000) Merriam dan. Caffarella (1999) mengkodifikasi Transformatif Belajar menjadi tiga tahap, termasuk refleksi kritis, wacana reflektif, tindakan. Mezirow menunjukkan bahwa terlibat dalam proses ini dapat menghasilkan kerangka acuan yang lebih permeabel untuk amandemen tambahan , reflektif, inklusif, diskriminasi, dan secara keseluruhan lebih emosional mampu berubah. Alih-alih bertindak atas "tujuan, nilai, perasaan, dan makna ... kita harus kritis diasimilasikan dari orang lain" (Mezirow, 2000), Belajar Transformatif sering melibatkan mendalam, kuat emosi atau kepercayaan dan dibuktikan dalam tindakan.
Sebuah pandangan transformatif pembelajaran sebagai proses yang intuitif dan emosional mulai muncul dalam literatur. Pandangan mengenai belajar transformatif didasarkan terutama pada karya Robert Boyd, yang telah mengembangkan teori pendidikan transformatif yang didasarkan pada analitis (atau kedalaman) psikologi.
Boyd mengatakan, transformasi adalah "perubahan mendasar dalam kepribadian seseorang yang melibatkan [bersama] resolusi dilema pribadi dan perluasan kesadaran menghasilkan integrasi kepribadian yang lebih besar." Hal ini menyerukan kepada sumber-sumber extrarational seperti simbol-simbol, gambar, dan arketipe untuk membantu dalam menciptakan visi pribadi atau makna dari apa artinya menjadi manusia.
Pertama, seorang individu harus menerima atau terbuka untuk menerima "ekspresi alternatif arti," dan kemudian mengakui bahwa pesan tersebut otentik. Bersedih, dianggap oleh Boyd yang paling penting penegasan tahap proses, terjadi ketika sebuah individu menyadari bahwa pola-pola lama atau cara memahami tidak lagi relevan, bergerak untuk mengadopsi atau membangun cara-cara baru, dan akhirnya, mengintegrasikan pola-pola lama dan baru.
Tidak seperti Mezirow, yang melihat ego sebagai memainkan peran sentral dalam proses transformasi perspektif, Boyd dan Myers menggunakan kerangka yang bergerak di luar ego dan penekanan pada akal dan logika untuk definisi belajar yang transformatif lebih psikososial di alam.
Kedua pandangan pembelajaran transformatif yang disajikan di sini adalah bertentangan. Satu pendukung pendekatan rasional yang bergantung terutama pada refleksi kritis sedangkan yang lain lebih banyak bersandar pada intuisi dan emosi. Perbedaan dalam dua pandangan, bagaimanapun, mungkin paling baik dilihat sebagai masalah penekanan. Keduanya menggunakan proses rasional dan menggabungkan imajinasi sebagai bagian dari proses kreatif.
Dua pandangan yang berbeda dari yang diuraikan di sini transformatif pembelajaran serta contoh bagaimana hal itu terjadi dalam praktek menyarankan bahwa tidak ada satu model pembelajaran transformative. Ketika transformatif belajar adalah tujuan pendidikan orang dewasa, mengembangkan lingkungan belajar yang dapat terjadi harus mempertimbangkan hal berikut:
- Meskipun sulit untuk belajar transformatif terjadi tanpa guru memainkan peran penting, para peserta juga mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar.
The role of the rational and the affective. Peran rasional dan afektif.
- Belajar transformatif memiliki dua lapisan yang kadang-kadang tampaknya berada dalam konflik: kognitif, rasional, dan obyektif dan intuitif, imajinatif, dan subjektif. Baik rasional dan afektif berperan dalam pembelajaran transformatif.
- Walaupun penekanan sudah pada belajar transformatif sebagai proses rasional, guru perlu mempertimbangkan bagaimana mereka dapat membantu siswa menggunakan perasaan dan emosi baik dalam refleksi kritis dan sebagai sarana refleksi.
Pengertian inovasi pendidikan
Inovasi pendidikan merupakan upaya dasar dalam memperbaiki aspek-aspek pendidikan dalam praktiknya. untuk lebih jelasnya, marilah kita lihat pendapat beberapa pakar mengenai inovasi pendidikan berikut ini.
1. Hamijoyo mengemukakan inovasi pendidikan adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif berbeda dari hal yang ada sebelumnya serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan.
2. Ibrahim mendefinisikan inovasi pendidikan adalah inovasi (pembaruan) dalam bidang pendidikan atau inovasi yang dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, inovasi pendidikan merupakan suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal baru bagi seseorang atau kelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil inversi atau diskoversi yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Hakikat Dan Pembelajaran Sains
Agaknya sulit memilih satu definisi yang paling lengkap (komprehensif) diantara beberapa definisi tentang hakikat sains. Perbedaan definisi ini menjadi wajar karena adanya perbedaan latar belakang keahlian pendefinisiannya (sebagai seoarang pakar pendidikan sains, filsof atau saintis). Namun, dari beberapa pengertian hakikat sains dapat disarikan suatu definsi yang lebih komprehensif yang paling mengaitkan dimensi sains sebagai pengetahuan, proses dan produk, penerapan dan sarana pengembangan nilai dan sikap tertentu seperti berikut ini:
• Sains adalah pengetahuan yang mempelajari, menjelaskan, dan menginvestigasi fenomena alam dengan segala aspeknya yang bersifat empiris
• Sains sebagai proses atau metode dan produk. Dengan menggunakan metode ilmiah yang sarat keterampilan proses, mengamati, mengajukan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis serta mengevaluassi data, dan menarik kesimpulan terhadap fenomena alam akan diperoleh produk sains, misalnya: fakta, konsep, prinsip dan generalisasi yang kebenarannya bersifat tentatif.
• Sains dapat dianggap sebagai aplikasi. Dengan penguasaan pengetahuan dan produk sains dapat dipergunakan untuk menjelaskan, mengolah dan memanfaatkan, memprediksi fenomena alam serta mengembangkan disiplin ilmu lainnya dan teknologi.
• Sains dapat dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan sikap dan nilai-nilai tertentu, misalnya: nilai, religius, skeptisme, objektivitas, keteraturan, sikap keterbukaan, nilai praktis dan ekonomis dan nilai etika atau estetika.Implikasi dari pemahaman hakikat sains dalam proses pembelajaran dijelaskan Carin & Sund (1989) dengan memberikan petunjuk sebagai berikut:
1. Para siswa/mahasiswa perlu dilibatkan secara aktif dalam aktivitas yang didasari sains yang merefleksikan metode ilmiah dan keterampilan proses yang mengarah pada diskoveri atau inkuiri terbimbing.
2. Para siswa/mahasiswa perlu didorong melakukan aktivitas yang melibatkan pencarian jawaban bagi masalah dalam masyarakat ilmiah dan teknologi.
3. Para siswa/mahasiswa perlu dilatih ”learning by doing = belajar dengan berbuat sesuatu” dan kemudian merefleksikannya. Mereka harus secara aktif mengkonstruksi konsep, prinsip, dan generalisasi melalui proses ilmiah.
4. Para guru perlu menggunakan berbagai pendekatan/model pembelajaran yang bervariasi dalam pembelajaran sains. Siswa/mahasiswa perlu diarahkan juga pada pemahaman produk dan konten materi ajar melalui aktivitas membaca, menulis dan mengunjungi tempat tertentu.
5. Para siswa perlu dibantu untuk memahami keterbatasan/ketentatifan sains, nilai-nilai, sikap yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran sains di masyarakat sehingga mereka dapat membuat keputusan.
Dari artikel artikel dan buku yang dipelajari maka dapat dibuat deskripsinya sebagai berikut:
BAGAIMANA SISWA BELAJAR SAINS:
DASAR TEORITIS
Teori belajar konstruktivisme mempunyai pengaruh besar terhadap upaya pengembangan model-model pembelajaran yang bertujuan membantu siswa memahami konsep-konsep secara benar. Para guru umumnya telah menyadari bahwa sebenarnya mengubah kesalahan konsep siswa tidaklah mudah. Siswa dalam membangun pemahamannya tentang konsep sains membentuk suatu kerangka berpikir yang kompleks. Pembentukan kerangka berpikir tersebut merupakan hasil interaksi siswa dengan pengalaman-pengalaman konkritnya atau dari hasil belajarnya. Kerangka yang mengambarkan hubungan antar konsep ini oleh Piaget disebu schema (Katu, 1992).
Dalam membantu siswa membangun pemahaman yang sesuai dengan konsep ilmiah, para guru memberi dorongan supaya ada usaha dari siswa sendiri untuk merombak kerangka pemikiran yang dimilikinya. Informasi atau pengetahuan baru yang dapat diterima ke dalam struktur kognitif siswa, menurut Piaget (Travers, 1982) melalui dua mekanisme yaitu: asimilasi dan akomodasi.
Dalam proses asimilasi, siswa menggunakan konsep yang telah dimiliki sebelumnya untuk beradaptasi dengan informasi baru yang dihadapinya. Jika informasi baru itu berbeda dengan konsep yang ada pada struktur kognitifnya, maka terjadi ketakseimbangan (disequilibrium) sehingga diperlukan perubahan atau modifikasi schema untuk mencapai keseimbanagn struktur kognitif.
Proses akomodasi merupakan dasar bagi perubahan konseptual, konstruksi pengetahuan dan proses belajar. Perubahan konseptual merupakan proses mengubah konsepsi awal dengan konsepsi baru yang lebih sesuai atau konsisten dengan konsep fisikawan (Fishler, 1993). Ketiga proses (asimilasi, disequilibrium dan akomodasi) ini bersifat adaptif dan berlanggsung kelanjutan dalam pembentukan pengetahuan. Terciptanya keadaan keseimbangan schema merupakan proses konstruktif perolehan pengetahuan dan perubahan konseptual. Melalui proses perubahan konseptual, kegiatan belajar akan menjadi bermakna (Smith, et al. 1993); karena siswa terlibat dalam kegiatan belajar yang dapat membantunya mengkonstruksi sendiri pengetahuan (Dykstra, 1992).
Driver & Bell (1986) menyebutkan beberapa pandangan kelompok konstruktivisme terhadap proses belajar sains sebagai berikut (1) hasil belajar tergantung pada lingkungan belajar dan konsepsi awal siswa; (2) belajar melibatkan pembentukan makna dengan menghubungkan konsepsi awal dengan konsep yang sedang dipelajari; (3) proses pembetukan ini aktif dan berkelanjutan; (4) belajar melibatkan penerimaan konsep-konsep yang sedang dipelajari; (6) pengalaman bahasa mempengaruhi pola-pola pemaknaan.
Glasson & Lalik (1993:188) menyatakan bahwa belajar sains sebagai proses konstruktif dan konstruksi pengetahuan itu memerlukan partisipasi aktif antara guru dan siswa. Dinyatakan pula bahwa untuk membangun pengetahuan siswa harus mengidentifikasi, menguji dan menafsirkan makna dari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki (yang sudah ada) dan kemudian menyesuaikan dengan masalah atau situasi yang dihadapinya. Guru harus menemukan cara-cara memahami pandangan (gagasan) siswa/mahasiswa, merencanakan kerangka alternatif, meranggsang konflik kognitif dan mengembangkan tugas-tugas yang memajukan konstruksi pengetahuan. Konstruktivisme memandang penting peranan konsepsi awal dalam proses belajar sains.
Dijelaskan bahwa jika guru tidak mempertimbangkan (mengabaikan) pengetahuan awal dapat memunculkan atau menjadi sumber kesulitan, baik pada guru, siswa atau keduanya (Bendall & Galili, 1993:1169). Walaupun konsepsi awal kadang-kadang tidak jelas dan berbeda dengan pengetahuan ilmiah, namun konsepsi awal ini perlu diidentifikasi sebagai titik awal dalam perubahan konseptual. Melalui perubahan konseptual dalam belajar sains, siswa dapat terlibat aktif dalam membentuk pengetahuan sendiri dengan cara memodifikasi konsepsi awal mereka. Konsepsi awal yang termodifikasi melalui proses akomodasi dapat membantu siswa menetralisir kegelisahan atau konflik yang timbul ketika berintegrasi dengan lingkungan dan mengembangkan kerangka konseptual yang dapat mengurangi kegiatan yang hanya menekankan menghafal ( rote memorization).
Dengan demikian, proses perubahan konseptual dalam belajar sains dapat menunjang belajar bermakna, karena konsep tersebut diawali dengan mengidentifikasi konsepsi awal siswa. Guru perlu menerapkan strategi-strategi mengajar yang cocok agar perubahan konseptual siswa dapat terjadi, misalnya strategi mengajar perubahan konseptual yang didasari konstruktivisme (Tomo, 1995).
PENUTUP
Hingga saat ini, pembelajaran sains yang berpusat pada buku teks masih banyak dijumpai di sekolah dan perguruan tinggi. Bahkan, telah menjadi budaya bagi sebagian guru. Mereka berorientasi dan memperoleh pengalaman praktik pembelajaran sains dari buku teks. Budaya pengajaran sains berpusat pada buku teks ini harus diubah, karena pemahaman produk sains tidak dapat dikembangkan hanya dari buku teks. Budaya ini juga bertentangan dengan hakikat sains dan diyakini sulit untuk ”melahirkan” siswa/mahsasiswa yang melek sains dan teknologi.
Konsisten dengan model konseptual LEP, guru perlu mempertimbangkan aspek-aspek bidang logis, bidang pengalaman dan bidang psikologis dalam pembelajaran sains agar lebih bermakna. Diharapkan dengan bekal pemahaman dan kesadaran ketiga bidang ini dapat diciptakan proses pembelajaran yang mudah dipahami, masuk akal dan dirasa bermanfaat oleh siswa sehingga mampu membangkitkan perubahan konseptual.
Artikel ini menelaah, bahwa metode pembelajaran sains di sekolah menengah perlu diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Metode sains yang terintegrasi sebaiknya dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat melihat hubungan sains dengan bidang ilmu yang lain. Siswa juga dapat memperkuat pemahaman sains untuk mempelajari bidang lain. Peran strategis guru dalam proses pembelajaran lebih sebagai fasilitator yang kreatif, sehingga gurupun perlu mengambil inisiatif untukl mengembangkan pemahaman sains yang terintegrasi dengan bidang lain, antara lain: bidang ilmu sosial, bahasa, dan seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar